watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

PENYESALAN TIADA HENTI

Kisah ini terilhami oleh pengalaman nyata seorang
wanita yang benar-benar terjadi. Nama dan
tempat kejadian dalam cerita ini telah dirubah dan
direvisi sedemikian rupa namun jalan cerita tidak
menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya
terjadi. Selamat membaca!
*****
Namaku Reni. Usiaku hampir mendekati kepala
tiga. Sudah menikah sejak lima tahun yang lalu
namun belum dikarunia anak. Suamiku berusia
lebih tua dariku dengan jarak yang cukup jauh.
Kehidupan kami bisa dibilang bahagia, bisa juga
dibilang tidak. Dalam kehidupan sehari-hari,
antara aku dan suamiku tidak ada permasalahan
yang pelik dan tidak mengancam pernikahan
kami. Hanya saja dalam masalah kehidupan
seksual ada sedikit permasalahan yang menurut
kami berdua bukan merupakan ancaman.
Kondisi ini mungkin akibat belum adanya tanda-
tanda kami akan dikaruniai seorang anak. Kami
rasakan hubungan intim antara aku dan suami
jadi hambar, tidak seperti tahun-tahun pertama
pernikahan kami yang penuh dengan gelora,
penuh dengan cinta yang membara. Dan saat ini
kami melakukannya hanya sekedar kewajiban
saja, tidak seperti dulu. Nampaknya kami pun
tidak mempermasalahkan ini. Akhirnya kami jadi
sibuk mencari kegiatan masing-masing untuk
menghilangkan kejenuhan ini. Suamiku semakin
giat bekerja dan usahanya semakin maju. Aku
pun demikian dengan mencari kegiatan lain yang
bisa menhgilangkan kejenuhanku. Kami sama-
sama sibuk dengan kegiatan masing-masing
sehingga waktu untuk bermesraan semakin
jarang. Namun kelihatannya kami bisa menikmati
kehidupan seperti ini dan tidak mengakibatkan
permasalahan yang berarti.
Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga
suatu saat terjadi hal baru yang mewarnai
kehidupan kami, khususnya kehidupan pribadiku
sendiri. Ketika itu kami mendapat khabar bahwa
ayahku yang berada di lain kota bermaksud
datang ke tempat kami. Suamiku langsung
menyatakan kegembiraannya dan tanpa
menunggu persetujuanku ia mengharapkan
ayahku cepat-cepat datang. Dia bilang sudah
sangat rindu sekali karena bisa bertemu kembali
setelah pertemuan terakhir ketika kami menikah
dahulu. Demikian pula dengan ayahku, katanya
kepada suamiku mengatakan bahwa ia pun
sangat rindu terutama kepadaku, anaknya yang
tersayang. Aku hanya bisa memandang suamiku
yang tengah menerima telepon dengan perasaan
gundah.
Setelah mendapat khabar itu, aku jadi sering
melamun. Aku jadi gelisah menunggu
kedatangan ayahku. Sebenarnya ia bukan ayah
kandungku. Ia aalah ayah tiri. Ia menikahi ibuku
ketika aku sudah remaja. Ketika itu ayahku masih
bujangan dan usianya berbeda cukup jauh
dengan ibuku. Kehidupan kami saat itu
berlangsung normal. Tahun demi tahun berjalan
dan akupun mulai tumbuh semakin dewasa.
Permasalahan mulai muncul ketika ibuku mulai
sakit-sakitan. Mungkin juga karena usia.
Di sinilah awal dari segalanya. Ayahku yang
masih muda dan penuh vitalitas merasa kurang
terpenuhi kebutuhannya dan mulai mencari-cari
jalan keluarnya. Celakanya, yang menjadi sasaran
adalah diriku sendiri. Saat itu aku masih sangat
muda dan tidak mengerti apa-apa. Ayahku ini
sangat pandai mengelabuiku sehingga akhirnya
aku terperangkap oleh semua akal bulusnya. Aku
tidak berani mengadukan hal ini kepada ibu. Takut
malah akan membuatnya semakin parah. Tetapi
aku pun tak bisa menjamin bahwa ia tidak
mengetahui apa yang terjadi antara ayah dengan
diriku. Sampai akhirnya ibuku wafat
meninggalkanku sendiri, anak semata
wayangnya, untuk dititipkan pada ayah.
Sepeninggal ibu, ayah semakin menjadi-jadi. Aku
tak bisa berbuat banyak karena hidupku sangat
tergantung kepadanya. Beruntunglah beberapa
tahun kemudian aku mendapatkan jodoh dan
menikah dengan suamiku yang sekarang. Aku
diboyong meninggalkan rumahku ke kota yang
sangat jauh jaraknya. Itulah pengalaman yang
sangat kusesalkan hingga hari ini.
“Hei, sayang!” tiba-tiba suamiku membuyarkan
lamunanku.
“Kok malah ngelamun? Ayo kita berangkat
sekarang, kasihan nanti ayahmu terlalu lama
menunggu di stasiun kereta”, lanjutnya seraya
mengambil kunci mobil untuk segera berangkat
menjemput ayah.
Ketika sampai di stasiun, suamiku langsung
mencari-cari ayahku sementara aku mengikutinya
dari belakang dengan perasaan serba tak karuan.
Gelisah, khawatir serta ada sedikit rasa rindu
karena sudah lama tak bertemu, bercampur
menjadi satu. Suamiku langsung berteriak
gembira ketika menemukan sosok seorang pria
yang tengah duduk sendiri di ruang tunggu.
Orang itu langsung berdiri dan menghampiri
kami. Ia lalu berpelukan dengan suamiku. Saling
melepas rindu. Aku memperhatikan mereka. Aku
agak terkesima karena ternyata ayahku tak
berubah banyak dari ketika kutinggalkan dahulu.
Ia nampak masih muda, meski kulihat ada
beberapa helai uban di rambutnya. Tubuhnya
masih tegap dan berotot. Kelihatannya ia tidak
pernah meninggalkan kebiasaannya berolah raga
sejak dulu.
“Hei Reni. Apa khabar, sayangku”, sapa ayah
kemudian ketika selesai berpelukan dengan
suamiku.
“Ayah, apa khabar? Sehat-sehat saja khan?”
balasku setengah terpaksa untuk berbasa-basi.
Ayahku mengembangkan kedua tangannya
sambil menghampiriku. Aku sempat bingung
menghadapinya dan dengan spontan melirik
pada suamiku yang kelihatannya seperti tahu apa
yang kupikirkan. Ia menganggukan kepalanya
seolah menyuruhku untuk menyambut
rentangan tangan ayah.
Aku lalu menghampiri ayahku. Ia langsung
menyambutnya dengan memelukku. Aku
terpana dengan pelukannya yang erat dan
kurasakan ayahku sesenggukan. Menangis sambil
berbisik betapa rindunya ia padaku. Aku jadi tak
tega dan dengan refleks, balas memeluknya
sambil berkata bahwa aku baik-baik saja dan
merasa rindu juga kepadanya.
Ia bersyukur bahwa masih ada orang yang
merindukannya sambil terus memelukku dengan
erat. Aku jadi serba salah. Pelukannya jadi lain
dan bahkan aku merasa tubuhnya sengaja
didesakan padaku. Aku berusaha untuk
mendorongnya secara halus dan jangan sampai
hal ini diketahui suamiku. Ayahku masih juga
genit! Ia sengaja menggesek-gesekan tubuhnya
padaku! Dasar lelaki celamitan, runtukku dalam
hati.
“Ayo kita ke rumah”, kata suamiku kemudian.
Aku bersyukur bisa terlepas dari pelukannya dan
buru-buru menjauh.
Aku lalu dengan sengaja memamerkan
kemesraan dihadapan ayahku dengan memeluk
pinggang suamiku sambil menyandarkan kepala
di dadanya. Suamiku balas memeluk sambil
berjalan menuju tempat parkir sementara ayahku
hanya tersenyum melihat semua ini. Aku tak tahu
apa arti senyum itu. Aku hanya ingin
memperlihatkan semua ini kepadanya. Aku juga
tak tahu apakah aku ingin membuatnya cemburu
atau apa?
Sejak adanya ayah di rumah, memang ada
perubahan yang cukup berarti dalam kehidupan
kami. Sekarang suasana di rumah lebih hangat,
penuh canda dan gelak tawa. Ayahku memang
pandai membawa diri, pandai mengambil hati
orang. Termasuk suamiku. Ia begitu senang
dengan kehadirannya. Ia jadi lebih betah di
rumah. Ngobrol bersama, jalan-jalan bersama.
Dan yang lebih menggembirakan lagi, suamiku
jadi lebih mesra kepadaku. Ia jadi sering
mengajakku berhubungan intim. Aku turut
gembira dengan perubahan ini. Tadinya aku
sempat khawatir akan kehadiran ayah yang akan
membuat masalah baru. Tetapi ternyata tidak.
Justru sebaliknya!
Namun dibalik itu aku agak was-was juga karena
kemesraan suamiku ternyata atas saran ayahku.
Katanya ia banyak memberi nasihat bagaimana
cara membahagiakan seorang istri. Hah? Aku
terperanjat mendengar ini. Jangan-jangan..?
Akh.., aku tak mau berpikir sejauh itu. Rasa
kekhawatiranku ternyata beralasan juga. Karena
seringkali secara diam-diam, ayah menatapku.
Dari tatapannya aku sudah bisa menduga. Ia
sudah mulai berani menggodaku meski hanya
berupa senyuman ataupun kerlingan nakal. Aku
tak pernah melayaninya. Aku tak mau suamiku
tahu akan hal ini.
Kekhawatiran berkembang menjadi rasa takut.
Malam itu suamiku memberitahu bahwa ia akan
pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya
selama beberapa hari. Aku terkejut dan berupaya
mencegahnya agar jangan pergi.
“Memangnya kenapa? Toh biasanya juga aku
suka keluar kota untuk bisnis, bukan untuk main-
main”, katanya kemudian.
“Bukan itu. Aku masih kangen sama kamu”,
jawabku mencari alasan.
“Aku cuma tiga hari. Mungkin kalau bisa cepet
selesai, bisa dua hari aku sudah kembali”, kata
suamiku lagi.
“Kamu di sini kan ada ayah, juga Si Inah. Jadi tak
perlu takut ditinggal sendiri.”
Justru itu yang kutakutkan, kataku tetapi hanya
dalam hati. Aku tak bisa mencari alasn lain lagi
karena khawatir justru dia malah curiga dan
semuanya jadi ketahuan. Akhirnya aku hanya
bisa mengiyakan dan berpesan agar dia cepat-
cepat pulang.
Hari pertama kepergian suamiku ke luar kota tak
ada peristiwa yang mengkhawatirkan meski
ayahku lebih berani menggoda. Ada saja
alasannya agar aku bisa berdekatan dengannya.
Bikinkan kopi lah, ambilkan Koran lah dan entah
apa lagi alasannya. Ia mencoba menggoda
dengan memegang tanganku pada saat
memberikan Koran padanya. Buru-buru kutarik
tanganku dan pergi ke kamar meninggalkannya.
Aku jadi semakin hati-hati terhadapnya. Pintu
kamar selalu kukunci dari dalam. Tetapi masih
saja aku kecolongan sampai suatu ketika terulang
kembali perisitiwa masa lalu yang sering
kusesalkan. Sore itu aku habis senam seperti
biasanya sekali dalam seminggu. Setelah mandi
aku langsung makan untuk kemudian istirahat di
kamar. Mungkin karena badan terasa penat dan
pegal sehabis senam, aku jadi mengantuk dan
langsung tertidur. Celakanya, aku lupa mengunci
pintu kamar. Setengah bermimpi, aku merasakan
tubuhku begitu nyaman. Rasa penat dan pegal-
pegal tadi berangsur hilang. Bahkan aku
merasakan tubuhku bereaksi aneh. Rasa nyaman
sedikit demi sedikit berubah menjadi sesuatu
yang membuatku melayang-layang. Aku seperti
dibuai oleh hembusan angin semilir yang
menerpa bagian-bagian peka di tubuhku. Tanpa
sadar aku menggeliat merasakan semua ini
sambil melenguh perlahan.
Dalam tidurku, aku mengira ini perbuatan
suamiku yang memang akhir-akhir ini suka
mencumbuku di kala tidur. Namun begitu ingat
bahwa ia masih di luar kota, aku segera
terbangun dan membuka mataku lebar-lebar.
Hampir saja aku menjerit sekuat tenaga begitu
melihat ayah sambil tersenyum tengah menciumi
betisku, sementara dasterku sudah terangkat
tinggi-tinggi hingga memperlihatkan seluruh
pahaku yang putih mulus.
“Ayah! Ngapain ke sini?” bentakku dengan suara
tertahan karena takut terdengar oleh Si Inah
pembantuku.
“Reni, maafkan ayah. Kamu jangan marah seperti
itu dong, sayang”, ia malah berkata seperti itu
bukannya malu didamprat olehku.
“Ayah nggak boleh. Keluar, saya mohon”, pintaku
menghiba karena kulihat tatapan mata ayah
demikian liar menggerayang ke sekujur tubuhku.
Aku buru-buru menurunkan daster menutupi
pahaku. Aku beringsut menjauhinya dan mepet
ke ujung ranjang. Ayah kembali menghampiriku
dan duduk persis di sampingku. Tubuhnya
mepet kepadaku. Aku semakin ketakutan.
“Kamu tidak kasihan melihat ayah seperti ini?
Ayolah, kita khan pernah melakukannya”,
desaknya.
“Jangan bicarakan masa lalu. Aku sudah
melupakannya dan tak akan pernah
mengulanginya”, jawabku dengan marah karena
diingatkan perisitiwa yang paling kusesali.
“OK. Ayah nggak akan cerita itu lagi. Tapi
kasihanilah ayahmu ini. Sudah bertahun-tahun
tidak pernah merasakannya lagi”, lanjutnya
kemudian.
Ayah lalu bercerita bahw ia tak pernah
berhubungan dengan wanita lain selain ibu dan
diriku. Dia tak pernah merasa tertarik selain
dengan kami. Aku setengah tak percaya
mendengar omongannya. Ia memang pandai
sekali membuat wanita tersanjung. Dan entah
kenapa akupun merasakan hal seperti itu. Ketika
kutatap wajahnya, aku jadi trenyuh dan berpikir
bagaimana caranya untuk menurunkan hasrat
ayah yang kelihatan sudah menggebu-gebu. Aku
tahu persis ayah akan berbuat apapun bila sudah
dalam keadaan seperti ini. Akhirnya aku mengalah
dan mau mengocok batangnya agar ia bisa
tenang kembali.
“Baiklah..”, kata ayahku seakan tidak punya pilihan
lain karena aku ngotot tak akan memberikan apa
yang dimintanya.
Mungkin inilah kesalahanku. Aku terlalu yakin
bahwa jalan keluar ini akan meredam
keganasannya. Kupikir biasanya lelaki kalau sudah
tersalurkan pasti akan surut nafsunya untuk
kemudian tertidur. Aku lalu menarik celana
pendeknya. Ugh! Sialan, ternyata dia sudah tidak
memakai celana dalam lagi. Begitu celananya
kutarik, batangnya langsung melonjak berdiri
seperti ada pernya. Aku agak terkesima juga
melihat batang ayah yang masih gagah perkasa,
padahal usianya sudah tidak muda lagi.
Tanganku bergerak canggung. Bagaimananpun
juga baru kali ini aku memegang kontol orang
selain milik suamiku meski dulu pernah
merasakannya juga. Tapi itu dulu sekali. Perlahan-
lahan tanganku menggenggam batangnya.
Kudengar ayah melenguh seraya menyebut
namaku. Aku mendongak melirik kepadanya.
Nampak wajah ayah meringis menahan remasan
lembut tangannku pada batangnya. Aku mulai
bergerak turun naik menyusuri batangnya yang
sudah teramat keras. Sekali-sekali ujung
telunjukku mengusap moncongnya yang sudah
licin oleh cairan yang meleleh dari liangnya.
Kudengar ayah kembali melenguh merasakan
ngilu akibat usapanku. Aku tahu ayah sudah
sangat bernafsu sekali dan mungkin dalam
beberapa kali kocokan ia akan menyemburkan air
maninya. Selesai sudah, pikirku mulai tenang.
Dua menit, tiga sampai lima menit berikutnya
ayah masih bertahan meski kocokanku sudah
semakin cepat. Kurasakan tangan ayah
menggerayang ke arah dadaku. Aku kembali
mengingatkan agar jangan berbuat macam-
macam.
“Biar cepet keluar..”, kata ayah memberi alasan.
Aku tidak mengiyakan dan juga tidak menepisnya
karena kupikir ada benarnya juga. Biar cepat
selesai, kataku dalam hati. Ayah tersenyum
melihatku tidak melarangnya lagi. Ia dengan
lembut mulai meremas-remas payudara di balik
dasterku. Aku memang tidak mengenakan kutang
setiap akan tidur, jadi remasan tangan ayah
langsung terasa karena kain daster itu sangat tipis.
Sebagai wanita normal, aku merasakan
kenikmatan atas remasan ini. Apalagi tanganku
menggenggam batangnya dengan erat,
setidaknya aku mulai terpengaruh oleh keadaan
ini. Meski dalam hati aku sudah bertekad untuk
menahan diri dan melakukan semua ini demi
kebaikan diriku juga. Karena tentunya setelah ini
selesai ayah tidak akan berbuat lebih jauh lagi
seperti dulu.
“Reni sayang.., buka ya? Sedikit aja..”, pinta ayah
kemudian.
“Jangan Yah. Tadi khan sudah janji nggak akan
macam-macam..”, ujarku mengingatkan.
“Sedikit aja. Ya?” desaknya lagi seraya menggeser
tali daster dari pundakku sehingga bagian atas
tubuhku terbuka.
Aku jadi gamang dan serba salah. Sementara
bagian dada hingga ke pinggang sudah telanjang.
Nafas ayahku semakin memburu kencang
melihatku setengah telanjang.
“Oh.., Reni kamu benar-benar cantik sekali”,
pujinya sambil memilin-milin puting susuku.
Aku terperangah. Situasi sudah mulai mengarah
pada hal yang tidak kuinginkan. Aku harus
bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, langsung
kumasukan batang ayah ke dalam mulutku dan
mengulumnya sebisa mungkin agar ia cepat-
cepat selesai dan tidak berlanjut lebih jauh lagi.
Aku sudah tidak memperdulikan perbuatan ayah
pada tubuhku. Aku biarkan tangannya dengan
leluasa menggerayang ke sekujur tubuhku,
bahkan ketika kurasakan bibirnya mulai menciumi
buah dadaku pun aku tak berusaha
mencegahnya. Aku lebih berkonsentrasi untuk
menyelesaikan semua ini secepatnya. Jilatan dan
kulumanku pada batang kontolnya semakin
mengganas sampai-sampai ayahku terengah-
engah merasakan kelihaian permainan mulutku.
Aku tambah bersemangat dan semakin yakin
dengan kemampuanku untuk membuatnya
segera selesai. Keyakinanku ini ternyata berakibat
fatal bagiku. Sudah hampir setengah jam, aku
belum melihat tanda-tanda apapun dari ayahku.
Aku jadi penasaran, sekaligus merasa tertantang.
Suamiku pun yang sudah terbiasa denganku, bila
sudah kukeluarkan kemampuan seperti ini pasti
takkan bertahan lama. Tapi kenapa dengan
ayahku? Apa ia memakai obat kuat?
Saking penasarannya, aku jadi kurang
memperhatikan perbuatan ayah padaku. Entah
sejak kapan daster tidurku sudah terlepas dari
tubuhku. Aku baru sadar ketika ayah berusaha
menarik celana dalamku dan itu pun terlambat!
Begitu menengok ke bawah, celana itu baru saja
terlepas dari ujung kakiku. Aku sudah telanjang
bulat! Ya ampun, kenapa kubiarkan semua ini
terjadi. Aku menyesal kenapa memulainya.
Ternyata kejadiannya tidak seperti yang
kurencanakan. Aku terlalu sombong dengan
keyakinanku. Kini semuanya sudah terlambat.
Berantakan semuanya! Pekikku dalam hati penuh
penyesalan.
Situasi semakin tak terkendali. Lagi-lagi aku
kecolongan. Ayah dengan lihainya dan tanpa
kusadari sudah membalikkan tubuhku hingga
berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepalaku
berada di bawahnya sementara kepalanya berada
di bawahku. Kami sudah berada dalam posisi
enam sembilan! Tak lama kemudian kurasakan
sentuhan lembut di seputar selangkanganku.
Tubuhku langsung bereaksi dan tanpa sadar aku
menjerit lirih. Suka tidak suka, mau tidak mau,
kurasakan kenikmatan cumbuan ayahku di sekitar
itu. Akh luar biasa! Aku menjerit dalam hati sambil
menyesali diri. Aku marah pada diriku sendiri,
terutama pada tubuhku sendiri yang sudah tidak
mau mengikuti perintah pikiran sehatku.
Tubuhku meliuk-liuk mengikuti irama permainan
lidah ayah. Kedua pahaku mengempit kepalanya
seolah ingin membenamkan wajah itu ke dalam
selangkanganku. Kuakui ia memang pandai
membuat birahiku memuncak. Kini aku sudah
lupa dengan siasat semula. Aku sudah terbawa
arus. Aku malah ingin mengimbangi
permainannya. Mulutku bermain dengan lincah.
Batangnya kukempit dengan buah dadaku yang
membusung penuh dan masih kenyal.
Sementara kontol itu bergerak di antara buah
dadaku, mulutku tak pernah lepas mengulumnya.
Tanpa kusadari kami saling mencumbu bagian
vital masing-masing selama lima belas menit.
Aku semakin yakin kalau ayah memakai obat
kuat. Ia sama sekali belum memperlihatkan
tanda-tanda akan keluar, sementara aku sudah
mulai merasakan desiran-desiran kuat bergerak
cepat ke arah pusat kewanitaanku. Jilatan dan
hisapan mulut ayah benar-benar membuatku tak
berdaya. Aku semakin tak terkendali. Pinggulku
meliuk-liuk liar. Tubuhku mengejang, seluruh
aliran darah serasa terhenti dan aku tak kuasa
untuk menahan desakan kuat gelombang lahar
panas yang mengalir begitu cepat.
“Auugghh..!” aku menjerit lirih begitu aliran itu
mendobrak pertahananku.
Kurasakan cairan kewanitaanku menyembur tak
tertahankan. Tubuhku menggelepar seperti ikan
terlempar ke darat merasakan kenikmatan ini. Aku
terkulai lemas sementara batang kontol ayah
yang berada dalam genggamanku masih
mengacung dengan gagahnya, bahkan terasa
makin kencang saja. Aku mengeluh karena tak
punya pilihan lain. Sudah kepalang basah. Aku
hanya tergolek lemah tak berdaya saat ayah mulai
menindih tubuhku. Dengan lembut ia mengusap
wajahku dan berkata betapa cantiknya aku
sekarang ini.
“Kau sungguh cantik. Kini kau sudah dewasa.
Tubuhmu indah dan jauh lebih berisi..,
mmpphh..”, katanya sambil menciumi bibirku,
mencoba membuka bibirku dengan lidahnya.
Aku seakan terpesona oleh pujiannya. Cumbu
rayunya begitu menggairahkanku. Aku
diperlakukan bagai sebuah porselen yang mudah
pecah. Begitu lembut dan hati-hati. Hatiku
semakin melambung tinggi mendengar semua
kekagumannya terhadap tubuhku. Wajahku yang
cantik, tubuhku yang indah dan kini jauh lebih
berisi. Payudaraku yang membusung penuh dan
menggantung indah di dada. Permukaan perut
yang rata, pinggul yang membulat padat berisi
menyambung dengan buah pantatku yang
‘bahenol’. Diwajah ayah kulihat memperlihatkan
ekspresi kekaguman yang tak terhingga saat
matanya menatap nanar ke arah lembah bukit di
sekitar selangkanganku yang dipenuhi bulu-bulu
hitam lebat, kontras dengan warna kultiku yang
putih mulus. Kurasakan tangannya mengelus
paha bagian dalam. Aku mendesis dan tanpa
sadar membuka kedua kakiku yang tadinya
merapat.
Ayah menempatkan diri di antara kedua kakiku
yang terbuka lebar. Kurasakan kontolnya
ditempelkan pada bibir kemaluanku. Digesek-
gesek, mulai dari atas sampai ke bawah. Naik
turun. Aku merasa ngilu bercampur geli dan
nikmat. Cairan yang masih tersisa di sekitar itu
membuat gesekannya semakin lancar karena
licin. Aku terengah-engah merasakannya.
Kelihatannya ia sengaja melakukan itu. Apalagi
saat moncong kontolnya itu menggesek-gesek
kelentitku yang sudah menegang. Ayah menatap
tajam melihat reaksiku. Aku balas menatap seolah
memintanya untuk segera memasuki diriku
secepatnya.
Ia tahu persis apa yang kurasakan saat itu.
Namun kelihatannya ia ingin melihatku menderita
oleh siksaan nafsuku sendiri. Kuakui memang aku
sudah tak tahan untuk segera menikmati batang
kontolnya dalam memekku. Aku ingin segera
membuatnya ‘KO’. Terus terang aku sangat
penasaran dengan keperkasaannya. Kuingin
buktikan bahwa aku bisa membuatnya cepat-
cepat mencapai puncak kenikmatan.
“Yah..?” panggilku menghiba.
“Apa sayang”, jawabnya seraya tersenyum
melihatku tersiksa.
“Cepetan..”
“Sabar sayang. Kamu ingin ayah berbuat apa?”
tanyanya pura-pura tak mengerti.
Aku tak menjawab. Tentu saja aku malu
mengatakannya secara terbuka apa keinginanku
saat itu. Namun ayah sepertinya ingin
mendengarnya langsung dari bibirku. Ia sengaja
mengulur-ulur dengan hanya menggesek-
gesekan kontolnya. Sementara aku benar-benar
sudah tak tahan lagi mengekang birahiku.
“Reni ingin ayah segera masukin..”, kataku
akhirnya dengan terpaksa.
Aku sebenarnya sangat malu mengatkan ini. Aku
yang tadi begitu ngotot tidak akan memberikan
tubuhku padanya, kini malah meminta-minta.
Perempuan macam apa aku ini!?
“Apanya yang dimasukin”, tanyanya lagi seperti
mengejek.
“Akh ayah. Jangan siksa Reni..!”
“Ayah tidak bermaksud menyiksa kamu sayang.”
“Oohh.., ayah. Reni ingin masukin kontol ayah ke
dalam memek Reni..uuggh..”, aku kali ini sudah
tak malu-malu lagi mengatakannya dengan
vulgar saking tak tahannya menanggung
gelombang birahi yang menggebu-gebu.
Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks.
Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu
keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata,
memang aku sangat menginginkannya segera.
“Baiklah sayang. Tapi pelan-pelan ya”, kata
ayahku dengan penuh kemenangan telah berhasil
menaklukan diriku.
“Uugghh..”, aku melenguh merasakan desakan
batang kontolnya yang besar itu.
Aku menunggu cukup lama gerakan kontol ayah
memasuki diriku. Serasa tak sampai-sampai.
Selain besar, kontol ayah cukup panjang juga.
Aku sampai menahan nafas saat batangnya
terasa mentok di dalam. Rasanya sampai ke ulu
hati. Aku baru bernafas lega ketika seluruh
batangnya amblas di dalam. Ayah mulai
menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan. Satu,
dua dan tiga tusukan mulai berjalan lancar.
Semakin membanjirnya cairan dalam liang
memekku membuat kontol ayah keluar masuk
dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan
gerakan pinggulku. Meliuk perlahan. Naik turun
mengikuti irama tusukannya.
Gerakan kami semakin lama semakin meningkat
cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak
beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu
mencapai bagian-bagian peka di dalam relung
kewanitaanku. Ayah tahu persis apa yang
kuinginkan. Ia bisa mengarahkan batangnya
dengan tepat ke sasaran. Aku bagaikan berada di
surga merasakan kenikmatan yang luar biasa ini.
Batang ayahku menjejal penuh seluruh isi liangku,
tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga
gesekan batang itu sangat terasa di seluruh
dinding vaginaku.
“Aduuhh.. auuffhh.., nngghh..”, aku meintih,
melenguh dan mengerang merasakan semua
kenikmatan ini.
Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian
ayahku di atas ranjang. Ia begitu hebat, jantan
dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan
padanya. Yang pasti aku merasakan kepuasan tak
terhingga bercinta dengannya meski kusadari
perbuatan ini sangat terlarang dan akan
mengakibatkan permasalahan besar nantinya.
Tetapi saat itu aku sudah tak perduli dan takkan
menyesali kenikmatan yang kualami.
Ayah bergerak semakin cepat. Kontolnya bertubi-
tubi menusuk daerah-daerah sensitive. Aku
meregang tak kuasa menahan desiran-desiran
yang mulai berdatangan seperti gelombang
mendobrak pertahananku. Sementara ayah
dengan gagahnya masih mengayunkan
pinggulnya naik turun, ke kiri dan ke kanan.
Eranganku semakin keras terdengar seiring
dengan gelombang dahsyat yang semakin
mendekati puncaknya. Melihat reaksiku, ayah
mempercepat gerakannya. Batang kontolnya
yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan
cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang
sempit itu akan terkoyak akibatnya.
Kulihat tubuh ayah sudah basah bermandikan
keringat. Aku pun demikian. Tubuhku yang
berkeringat nampak mengkilat terkena sinar
lampu kamar. Aku mencoba meraih tubuh ayah
untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku
berhasil memeluknya dengan erat. Kurengkuh
seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku
dengan erat. Kurasakan tonjolan otot-ototnya
yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku.
Kubenamkan wajahku di samping bahunya.
Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara keduan
tanganku menggapai buah pantatnya dan
menekannya kuat-kuat. Kurasakan semburan
demi semburan memancar kencang dari dalam
diriku. Aku meregang seperti ayam yang baru
dipotong. Tubuhku mengejang-ngejang di atas
puncak kenikmatan yang kualami untuk kedua
kalinya saat itu.
“Ayah.., oohh.., Yaahh..”, hanya itu yang bisa
keluar dari mulutku saking dahsyatnya
kenikmatan yang kualami bersamanya.
“Sayang nikmatilah semua ini. Ayah ingin kamu
dapat merasakan kepuasan yang belum pernah
kamu alami”, bisik ayah dengan mesranya.
“Ayah sayang padamu, ayah cinta padamu. Ayah
ingin melampiaskan kerinduan yang menyesak
selama ini..”, lanjutnya tak henti-henti
membisikan untaian kata-kata indah yang
terdengar begitu romantis.
Aku mendengarnya dengan perasaan tak
menentu. Kenapa ini datangnya dari lelaki yang
bukan semestinya kusayangi. Mengapa keindahan
ini kualami bersama ayahku sendiri, meski ayah
tiri tetapi sudah seperti ayah kandungku sendiri.
Tanpa terasa air mata menitik jatuh ke pipi. Ayah
terkejut melihat ini. Ia nampak begitu khawatir
melihatku menangis.
“Reni sayang, kenapa menangis?” bisiknya buru-
buru.
“Maafkan ayah kalau telah membuatmu
menderita..”, lanjutnya seraya memeluk dan
mengelus-elus rambutku dengan penuh kasih
sayang.
Aku semakin sedih merasakan ini. Tetapi ini
bukan hanya salahnya. Aku pun berandil besar
dalam kesalahan ini. Aku tidak bisa
menyalahkannya saja. Aku harus jujur dan adil
menyikapinya.
“Ayah tidak salah. Reni yang salah..”, kataku
kemudian.
“Tidak sayang. Ayah yang salah”, katanya
besikeras.
“Kita, Yah. Kita sama-sama salah”, kataku
sekaligus memintanya untuk tidak
memperdebatkan masalah ini lagi.
“Terima kasih sayang”, kata ayahku seraya
menciumi wajah dan bibirku.
Kurasakan ciumannya di bibirku berhasil
membangkitkan kembali gairahku. Aku masih
penasaran dengannya. Sampai saat ini ayah
belum juga mencapai puncaknya. Aku seperti
mempunyai utang yang belum terbayar. Kali ini
aku bertekad keras untuk membuatnya
mengalami kenikmatan seperti apa yang telah ia
berikan kepadaku. Aku sadar kenapa diriku
menjadi antusias untuk melakukannya dengan
sepenuh hati. Biarlah terjadi seperti ini, toh ayah
tidak akan selamanya berada di sini. Ia harus
pulang ke kampungnya. Aku berjanji pada diriku
sendiri, ini merupakan yang terakhir kalinya.
Timbulnya pikiran ini membuatku semakin
bergairah. Apalagi sejak tadi ayah terus-terusan
menggerakan kontolnya di dalam memekku.
Tiba-tiba saja aku jadi beringas. Kudorong tubuh
ayah hingga terlentang. Aku langsung
menindihnya dan menicumi wajah, bibir dan
sekujur tubuhnya. Kembali kuselomoti batang
kontolnya yang tegak bagai tiang pancang beton
itu. Lidahku menjilat-jilat, mulutku mengemut-
emut. Tanganku mengocok-ngocok batangnya.
Kulirik ayah kelihatannya menyukai perubahanku
ini. Belum sempat ia akan mengucapkan sesuatu,
aku langsung berjongkok dengan kedua kaki
bertumpu pada lutut dan masing-masing berada
di samping kiri dan kanan tubuh ayah.
Selangkanganku berada persis di atas batangnya.
“Akh sayang!” pekik ayahku tertahan ketika
batangnya kubimbing memasuki liang memekku.
Tubuhku turun perlahan-lahan, menelan habis
seluruh batangnya. Selanjutnya aku bergerak
seperti sedang menunggang kuda. Tubuhku
melonjak-lonjak seperti kuda binal yang sedang
birahi. Aku tak ubahnya seperti pelacur yang
sedang memberikan kepuasan kepada hidung
belang. Tetapi aku tak perduli. Aku terus berpacu.
Pinggulku bergerak turun naik, sambil sekali-sekali
meliuk seperti ular. Gerakan pinggulku persis
seperti penyanyi dangdut dengan gaya ngebor,
ngecor, patah-patah, bergetar dan entah gaya
apalagi. Pokoknya malam itu aku mengeluarkan
semua jurus yang kumiliki dan khusus
kupersembahkan kepada ayahku sendiri!
“Ouugghh.. Renii.., luar biasa!” jerit ayah
merasakan hebatnya permainanku.
Pinggulku mengaduk-aduk lincah, mengulek liar
tanpa henti. Tangan ayah mencengkeram kedua
buah dadaku, diremas dan dipilin-pilin. Ia lalu
bangkit setengah duduk. Wajahnya dibenamkan
ke atas dadaku. Menciumi puting susuku.
Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas.
Kami berdua saling berlomba memberi kepuasan.
Kami tidak lagi merasakan panasnya udara meski
kamarku menggunakan AC. Tubuh kami
bersimbah peluh, membuat tubuh kami jadi
lengket satu sama lain. Aku berkutat mengaduk-
aduk pinggulku. Ayah menggoyangkan
pantatnya. Kurasakan tusukan kontolnya semakin
cepat seiring dengan liukan pinggulku yang tak
kalah cepatnya. Permainan kami semakin
meningkat dahsyat.
Sprei ranjangku sudah tak karuan bentuknya,
selimut dan bantal serta guling terlempar
berserakan di lantai akibat pergulatan kami yang
bertambah liar dan tak terkendali. Kurasakan ayah
mulai memperlihatkan tanda-tanda. Aku semakin
bersemangat memacu pinggulku untuk
bergoyang. Mungkin goyangan pinggulku akan
membuat iri para penyanyi dangdut saat ini.
Tak selang beberapa detik kemudian, akupun
merasakan desakan yang sama. Aku tak ingin
terkalahkan kali ini. Kuingin ia pun merasakannya.
Tekadku semakin kuat. Aku terus memacu sambil
menjerit-jerit histeris. Aku sudah tak perduli
suaraku akan terdengar kemana-mana. Kali ini
aku harus menang! Upayaku ternyata tidak
percuma. Kurasakan tubuh ayah mulai
mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang.
Menggeram seperti harimau terluka. Aku pun
merintih persis kuda betina binal yang sedang
birahi.
“Eerrgghh.. oouugghh..!” ayah berteriak panjang,
tubuhnya menghentak-hentak liar.
Tubuhku terbawa goncangannya. Aku
memeluknya erat-erat agar jangan sampai
terpental oleh goncangannya. Mendadak aku
merasakan semburan dahsyat menyirami
seluruh relung vaginaku. Semprotannya begitu
kuat dan banyak membanjiri liangku. Akupun
rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam
diriku. Sambil mendesakan pinggulku kuat-kuat,
aku berteriak panjang saat mencapai puncak
kenikmatan berbarengan dengan ayahku.
Tubuh kami bergulingan di atas ranjang sambil
berpelukan erat. Saking dahsyatnya, tubuh kami
terjatuh dari ranjang. Untunglah ranjang itu tidak
terlalu tinggi dan permukaan lantainya tertutup
permadani tebal yang empuk sehingga kami tidak
sampai terkilir atau terluka.
“Oohh.. ayaahh.., nikmaatthh!” jeritku tak
tertahankan.
Tulang-tulangku serasa lolos dari persendiannya.
Tubuhku lunglai, lemas tak bertenaga terkuras
habis dalam pergulatan yang ternyata memakan
waktu lebih dari 1 jam! Gila! Jeritku dalam hati.
Belum pernah rasanya aku bercinta sampai
sedemikian lamanya.
Aku hanya bisa memeluknya menikmati sisa-sisa
kepuasan. Perasaanku tiba-tiba terusik. Sepertinya
aku mendengar sesuatu dari luar pintu kamar,
tetapi aku terlalu lelah untuk memperhatikannya
dan akhirnya tertidur dalam pelukan ayahku,
melupakan semua konsekuensi dari peristiwa di
malam ini di kemudian hari.


Adult | GO HOME | Exit
1/1414
U-ON

inc Powered by Xtgem.com